Apakek

Sunday, February 13, 2011

Dedaunan pun Takkan Pernah Tahu

Ah, sungguh melelahkan sekali. Rasanya akan sangat nyaman jika ku duduk di bawah rimbunnya pohon akasia itu. Ku duduk di bawah naungannya, menikmati angin semilir siang hari yang sangat nyaman.

"Wahai akasia, apakah kamu tidak pernah bosan hidup hanya di sini saja?" tanyaku pada pohon akasia yang kokoh itu.

"Ah, tidak. Sesungguhnya segala sesuatu apabila kita syukuri, sangatlah nikmat."

"Tapi, tidakkah kau iri dengan dedaunan yang bisa pergi dari tubuhmu, lalu terbang bebas hingga ke ujung dunia?"

"Biarlah, biarlah dedaunan itu senang. Toh dia sudah mati. Aku yakin mereka pun tak tahu akan dibawa pergi ke mana oleh angin-angin itu."

"Jadi, kau akan tinggal diam di sini, hingga ajal menjemputmu? Bersama dedaunan dan luwak di sekitarmu?"

"Sejauh yang bisa kupikirkan, mungkin hanya itu yang bisa kukerjakan."

"Tidakkah kau berpikir akan hal lain yang lebih bermanfaat, ketimbang menunggu akan ajalmu?"

"Ah, kenapa kau sebodoh itu, wahai manusia. Tidakkah kau sadar, apa yang sedang kulakukan saat ini? Ini juga salah satu cara untuk mensyukuri hidupku. Menaungimu dengan dedaunanku yang rimbun. Mengajakmu bicara demi menghilangkan lelahmu. Dan juga memberimu udara kehidupan, supaya kau bisa tetap hidup hingga saat ini. Tidakkah itu bermanfaat?

"Apalah yang biasa kalian lakukan, wahai manusia? Hanya merusak alam saja. Menebang kawan-kawanku, membunuh saudara-saudaraku. Menyulitkan saja. Tidakkah kau berkaca?

"Padahal, kau yakin kan, setelah dipanggil Yang Maha Kuasa, akan dipertanggungjawabkan segala perbuatanmu? Kenapa kau tak sadar juga?



"Lagipula, sudah kurencanakan hidupku. Apa yang akan kukerjakan nanti, hingga esok hari. Walaupun segalanya nanti akan diatur oleh yang di atas."

Ah, banyak omong benar akasia ini. Biarlah, dia memang kokoh. Tapi aku masih lebih kokoh. Aku bisa bergerak bebas ke manapun aku ingin pergi. Selama ada uang. Bahkan pohon ini pun bisa kujadikan uang. Haha.



"Siapakah yang tidak sadar juga? Aku sadar!"

"Baiklah, terserah kau."

***

Sungguh keheningan yang tak nyaman. Dan aku pun bertanya kepada akasia, tentang kematian.

"Wahai akasia yang kokoh, tahukah kau tentang kematian?"

"Ah, tak tahu. Hanya Tuhan yang tahu."

"Bahkan kau tak tahu kapan kau akan 'mencabut nyawa' dedaunan yang menempel erat di batangmu?"

"Ya, aku tak tahu. Tapi entahlah, jika ternyata dedaunan justru tahu apabila mereka akan terlepas dari naunganku."

"Wahai dedaunan, tahukah kau kapan kau akan pergi dari rumahmu?" tanyaku kepada dedaunan.

"La.. Tidak, aku tak tahu. Hanya Tuhan yang tahu."

"Bagaimana bisa?! Kau kan sangat bergantung pada induk semangmu! Bahkan kau tahu saat-saat induk semangmu mulai mengurangi jatah makananmu. Saat induk semangmu mulai tidak mempedulikanmu. Saat induk semangmu menua."

"Tapi, memang itulah kenyataannya. Pernah, suatu ketika aku dan temanku sedang bercengkrama. Dia berkata, dia merasa sangat sehat hari itu. Tapi tak lama kemudian, dia justru gugur dan dibawa angin. Sedih sekali rasanya.

"Tapi, aku juga pernah bercengkrama dengan sesepuh. Dia merasa akan mati. Tapi nyatanya, hingga kini ajal belum menjemputnya. Dan dia semakin sehat. Begitulah," jelas dedaunan.

Seketika, saat itu juga aku melihat seorang papa yang merana di jalan. Dia mati saat itu juga. Ya, memang hanya Tuhan yang tahu.

No comments: