Apakek

Thursday, September 9, 2010

Hari Terakhir Ramadhan

Saya pikir tulisan ini relevan dibaca semua pemeluk agama


__
Ah, hanya sebagai refleksi diri.

Hari terakhir ramadhan, tapi masih berharap kalau ini tidak benar-benar terjadi. Memang, masuk bulan ramadhan, di lingkungan kampung betawi ini jadi super berisik karena suara-imam-shalat-tarawih-yang-suaranya-cempreng-dan-tidak-enak-di-telinga-karena-bacaannya-super-cepat-dan-dikeraskan-melalui-TOA-sehingga-satu-kelurahan-mendengarnya.

Setiap subuh, hampir pasti terbangun jam 2 pagi, karena lagi-lagi di masjid itu ada orang yang berniat jadi presenter radio tapi nggak kesampaian. Terus, dia salurkan bacotannya yang rada gak penting --bukan rada, memang tidak penting maybe-- lewat TOA masjid. Isinya cuma ngobrol-ngobrol dengan ketua RT. Terus bangunin ibu-ibu suruh masak rendang, atau ayam opor -,-

eh, itu bercita-cita jadi presenter radio tapi gak kesampaian beneran lho, ya.

Lalu, waktu sahur pun tiba. Sekitar pukul 4 pagi.

Otomatis kami sekeluarga tidak pernah menyetel TV karena masjid masih berisik sekali mengeraskan-kembali siaran dari PAS FM. Hingga waktu subuh tiba.


Sekolah, pulang sekolah, menyiapkan makanan berbuka. Setiap orang di rumah ada kegiatannya sendiri. Hingga waktu liburan tiba, saya yang sudah libur pun masih "bersekolah" dan bergelut dalam dunia sekolah. Lalu kebagian tugas buat kue.

Capek, semuanya capek.

Berputar terus setiap hari.

Hingga sepuluh malam terakhir tiba. Acara buka puasa bersama silih berganti datang. Uh, kesal, kenapa harus di sepuluh malam terakhir?

Lalu di malam ke-25, Masjid Husnul Khotimah tempat saya setiap malam tarawih, mengadakan i'tikaf. Konyolnya, saya tidak datang karena takut jadi anak muda sendirian di sana. Lagipula, saya bukan warga sekitar masjid itu, saya datang jauh. Ternyata Tesar ikut. Huh. Mana katanya makanannya mantap-mantap. Menyesal juga.

Tapi, saya coba ubah sudut pandang saya terhadap hal-hal itu. Seperti kata orangtua saya sebelumnya: jangan sekali-kali jadi orang yang suka mengeluh


Saya turuti. Saya ubah perspektif saya.

Lalu, saya jadi berpikir. Kalau tiap malam ada suara-imam-shalat-tarawih-yang-suaranya-cempreng-dan-tidak-enak-di-telinga-karena-bacaannya-super-cepat-dan-dikeraskan-melalui-TOA-sehingga-satu-kelurahan-mendengarnya, kenapa saya tidak mencoba mengasingkan diri ke tempat nun jauh di sana. Di komplek sebelah. "Biar ada ulangan untuk esok hari, saya harus pergi!!" pikir saya. Menyalakan motor, pergi dari rumah untuk shalat tarawih. Biar dingin udara menusuk tulang, biar hujan yang tajam bagai batu mengenai kepala saya, saya terjang untuk tarawih: semata-mata supaya tidak mendengar suara imam itu. Supaya bisa shalat di tempat yang tenang.

Tapi, entah kenapa eh, jadi kebiasaan. Selain jadi tahu makna tarawih yang sebenarnya, juga jadi mengerti akan makna perjuangan yang sebenarnya.


Pukul 2 pagi terbangun. Saya jadi berpikir, apa yang harus saya lakukan? Tidur lagi, tak mungkin, mau belajar tak bisa. Internetan pun tak nyaman. Maka saya baca kitab keras-keras untuk mengalahkan suara cempreng mengganggu itu. Toh tuh masjid tiap ba'da Maghrib selalu baca Quran keras-keras walaupun kadang mereka tidak sadar diri.

Dan saya pun tahu makna sebenarnya dari baca kitab: bukan sekedar dibaca, tapi dihayati. Setelah saya coba untuk hayati, saya sadar, kitab bukan hanya untuk dihayati. Tapi juga untuk dipahami.

Setelah saya pahami, saya sadar, bahwa kitab bukan hanya untuk dipahami, tapi juga untuk diamalkan. Setelah diamalkan, biarkan Tuhan yang menilai.


Kemudian, tidak bisa nonton TV karena suara radio PAS FM yang dikeraskan-kembali via TOA masjid. Penghematan listrik. Sederhana. Jadi dengar cerita-cerita orang tua mengenai masa kecilnya. Coba kalau TV menyala, pasti semua jadi pasif karena konsentrasi ke acara televisi.

Bersekolah, capai. Padahal ramadhan itu ladangnya ibadah, kenapa masih ada sekolah?!

Saya ubah perspektif bahwa, lewat belajar sungguh-sungguh pun, jika Tuhan merestui, akan bernilai ibadah. Bantu orang tua pun ibadah.

Kemudian, buka puasa bersama. Aaah itu ganggu ibadah!!

Ternyata, lewat bukpus, bisa menjalin silaturahmi. Dari yang semula renggang, menjadi kuat kembali. Dan jika Tuhan merestui, akan bernilai ibadah.


Kemudian, pada malam adanya i'tikaf di Husnul Khotimah, kebetulan sekali saya sedang tidak enak badan. Dan memang itulah, saya tidak diperkenankan i'tikaf untuk mengembalikan kesehatan.

Hingga malam ke 29.....

Saya merasa ada yang aneh hari itu. Semula, saya kira lailatul qadr sudah lewat, mungkin tanggal 23. Karena malamnya angin semilir.

Tapi begitu bertemu malam 25, saya pikir justru malam itulah lailatul qadr. Menyesal karena malam itu tidak maksimal.

Hingga malam ke 29, ini benar-benar aneh. Jalan menuju masjid, malam yang dingin sekali. Tapi tenang. Saya belum sadar itu. Kemudian shalat, dan ceramahnya tentang hal yang diharamkan. Pulang. Makan malam.

Lalu belajar. Kemudian mengurungkan niat untuk tidur. Baca Nat Geo, melihat kondisi menyedihkan di Afrika sana, menjadikan refleksi diri. Kemudian belajar lagi. Benar-benar tidak merasa mengantuk samasekali, padahal tidur sebelumnya hanya 5 jam.

Pukul 2 datang, karena perut lapar, makan. Selesai makan, masjid berbunyi lagi. Tidak bisa lanjut belajar. Okelah, saya jadi melakukan hal yang tidak pernah saya lakukan pada malam-malam biasa.
Aih...

Tetapi benar-benar tidak merasa mengantuk.

Hingga selesai sahur, kemudian shalat subuh. Hingga matahari terbit, tak merasa mengantuk sama sekali.

Kemudian, matikan lampu karena semburat merah sudah muncul. Tiba-tiba saya ambruk di kasur. Tertidur.

Mungkinkah itu lailatul qadr yang sebenarnya? Entahlah.

Di ramadhan kali ini, walaupun ibadah saya tidak sekali-kali lebih baik daripada teman-teman saya yang mengaku "Ramadhan ini adalah ramadhan terburuk dalam hidup saya", saya belajar untuk menerima apa adanya. Memang begini lah.

Dan, di sisa 6 jam terakhir ramadhan ini, semoga ibadah kita, baik ibadah langsung maupun tak langsung, diterima langsung oleh Allah.

No comments: