Apakek

Saturday, September 4, 2010

(Mungkin ini) Alasan Mengapa Stephen Hawking Tidak Mengakui Adanya Tuhan

Di buku terbarunya, The Grand Design, seperti dikutip dari harian The Times, Stephen Hawking tidak mengakui adanya Tuhan. Lebih spesifiknya, dia berpendapat bahwa alam semesta ini ada tanpa campur tangan Tuhan samasekali. Hal ini melawan pendapat tuan besar fisika, Isaac Newton, bahwa penciptaan alam semesta ini ada karena Tuhan.

Oke, sekarang saya tidak membahas tentang isi bukunya. Atau jalan pikiran atheis lumpuh Stephen Hawking. Tapi, ini perkiraan saya mengapa dia tidak mengakui adanya Tuhan.

*****

Jangan mau jadi gelas kosong. Tapi, jadilah gelas yang sudah setengah terisi, dan gelas tersebut dapat terus bertambah tinggi.

Tentunya Anda sudah sering mendengar dari beberapa motivator atau guru, sebelum mendapat ilmu, mereka bilang: jadilah gelas yang kosong. Hal ini dimaksudkan supaya ilmu yang dituang bisa masuk, tidak meluber.

Jujur saya sudah lama tidak setuju dengan pendapat itu. Karena, jika menjadi gelas kosong, si pendengar mau tak mau menjadi orang yang --mohon maaf-- bodoh sebodoh-bodohnya. Mau saja diisi statement yang mungkin benar ataupun salah, tanpa berpikir lebih lanjut apakah ilmu tersebut benar atau salah. Diisi kopi, dia jadi kopi sepenuhnya. Diisi teh, dia jadi teh sepenuhnya. Seterusnya.

__
Tetapi, lain halnya jika menjadi gelas yang sudah setengah terisi. Kenapa saya tidak bilang setengah kosong, hal ini karena berarti menginginkan supaya gelas itu penuh. Padahal, gelas itu tidak boleh penuh. Okelah, secara artian harfiah, gelas setengah terisi dengan setengah kosong sama saja. Tapi dari sudut pandang saya, beda.

Dan artian dari gelas yang terus bertambah kapasitasnya, ini berarti selalu rendah hati, terus mau menampung ilmu yang ada.

__
Nah, sekarang, kalau kondisi gelas kosong. Diisi teh. Maka Anda akan menjadi teh sepenuhnya.

Sementara, gelas setengah terisi. Katakanlah isi gelas tersebut air putih. Diisi teh. Maka Anda akan menjadi gelas yang mengandung teh dan air, artiannya, teh tersebut tidak terlalu pekat.

Setengah terisi itu adalah, kebaikan. Hal-hal baik dan benar.

__
Nah, yang saya maksud di sini adalah, jadilah orang yang setiap akan mendapat ilmu, telah memiliki pondasi ilmu yang lain. Jangan jadi gelas yang benar-benar kosong sehingga bisa dipengaruhi orang lain.

Kita ambil contoh FPI. Kenapa mereka bisa kasar begitu, padahal semasa muda sebelum masuk FPI mereka lemah lembut dan bijaksana? Karena mereka sewaktu masuk ke lembaga itu, disuruh jadi gelas kosong!! Kalau sudah jadi gelas kosong, mudahlah untuk dicuci otak dan diisi banyak hal-hal yang mungkin benar, ataupun bisa jadi salah.

Andaikan mereka itu sebelumnya menjadi gelas yang setengah terisi dan tidak terhingga, pasti sewaktu menyerap ilmu --atau sepulang menyerap ilmu-- mereka menyadari bahwa ada yang salah, ada yang tidak beres. Tidak menjadi aroganlah dia.


Sama seperti Tuan Stephen Hawking. Dia sewaktu belajar fisika, benar-benar menjadi gelas kosong. Dia benar-benar kosong pemahamannya tentang Tuhan. Sehingga bisa bilang bahwa Tuhan tidak ikut campur dalam pembuatan alam semesta. Andaikan dia memiliki setengah gelas tentang keberadaan Tuhan. Saya yakin dia tidak akan bilang seperti itu.

*****

Lalu yang kedua adalah, tidak berdiskusi dengan orang yang memiliki sudut pandang yang berbeda. Memang, jika diskusi dengan yang bersudut pandang berbeda, kadang akan menimbulkan konflik karena perbedaan pendapat.

Namun, ingat, tidak berarti dengan perbedaan pendapat, Anda selalu benar, dan orang lain yang salah.

Tentunya sangat penting berdiskusi dengan orang yang memiliki sudut pandang berbeda. Dan yang jelas, dengan berdiskusi dengan orang lain, akan menimbulkan pemahaman baru, yang tidak terlalu dominan, tapi bisa benar dan bisa salah.

Dan jangan menutup hati saat berdiskusi. Masih sediakanlah gelas setengah terisi yang rendah hati.

Mungkin saja, FPI itu jadi anarkis karena mereka bertemannya hanya dengan sesama anarkis. Jadinya ya tambah anarkis. Coba kalau mereka sempat berdiskusi dengan Gus Dur misalnya, mungkin saja mereka akan berubah pikiran.

Dan bisa jadi Stephen Hawking juga demikian. Coba dia sempat mengobrol dengan rendah hati dengan pendeta, mungkin dia tidak akan mengeluarkan statement penting yang parah tadi.

Sekian.

3 comments:

Unknown said...

kau tak tahu berita terakhir gusdur,wahai kawan?

matahari said...

menarik :D saya suka sekali dengan sikap keterbukaan yang ditawarkan, susah diterapin terutama dlm dialog antaragama D: dan saya jadi penasaran dgn komen di atas

Tofaninoff said...

@Bayu: Wah apaan emang?

@matahari: Thanks :D
Memang, kalau udah dialog antaragama, pasti egois yang muncul. Bisa dijamin.