Apakek

Sunday, August 8, 2010

Cita-cita

Waktu kecil, saya punya cita-cita macam-macam. Yah, layaknya anak kecil. Tapi saya nggak pernah punya cita-cita sebagai dokter, haha.

Hingga akhirnya saat ini, cita-cita saya adalah sebagai ilmuwan.

Saya pikir, berani amat menargetkan cita-cita setinggi hal yang mungkin akan sangat sulit saya capai. Gila. Yah, gen keluarga saya biasa-biasa aja, nggak lebih. Belum dukungan lingkungan tidak cukup memadai. Terlebih dukungan dari negara sendiri, Indonesia.

Tapi, setelah makin ke sini, saya rasa hal itu sebenarnya bukanlah halangan. Toh, kemarin saya chatting dengan Al Atiqi, alumni SMA saya yang sekarang di melanjutkan studinya di NTU. Waktu itu lagi hot-hotnya prestasi SMA saya atas medali yang didapat pada hasil OSN (Olimpiade Sains Nasional). Lalu, ngobrolin tentang OSN.

Dia menyuguhkan saya beberapa nama-nama yang saya belum pernah dengar. Di antaranya: Jonathan Pradana Mailoa. Dia pertama ikut olimpiade sains di tingkat nasional, medali langsung emas. Begitu melanjutkan ke IPhO (International Physics of Olympiad), medalinya emas juga, dan ABSOLUTE WINNER!! Dan dia melanjutkan studinya dengan damai di MIT. Yes, MIT.

Semula saya minder dengan peringkat orang-orang cina. Lalu, Al bilang, "Yelah, lo tau gak sih dulu sebelum dia ikut, dia itu beneran pinter ato nggak? Orang dia latihan 60 soal per hari, jelaslah kalo sekarang jadi pinter!"

OMG, yes, got it. Usaha Sebanding Hasil.

*****

Lalu, dia menawarkan saya kursus buat bimbingan OSN. Dengan senang hati saya terima.



Dan, cita-cita saya sebagai ilmuwan saya rasa akan didapat di tangan.

Tapi....

Saya baru sadar, untuk apa saya merencanakan semua hal itu? Toh, profesi ilmuwan (kalaupun saya nanti bisa menjadi itu), di Indonesia nggak dipake. Ntar, saya malah jadi kayak Habibie, anak yang pintar, jadi ilmuwan, dan gak balik lagi ke Indonesia karena otaknya yang terlalu mahal itu malah diejek-ejek di Indonesia.

Saya jadi berpikir lagi, relevankah "Ilmuwan" dijadikan cita-cita di Indonesia? Melihat kenyataan zaman sekarang yang profesi sebagai pemulung justru jauuuuuuuh lebih menjanjikan dibandingkan ilmuwan? Lihat aja, ilmuwan LIPI yang punya banyak banget inovasi, dan setiap hari saya lihat hasilnya di harian Kompas, nggak ada satupun yang ditilik oleh Menristek kita. Tapi, malah gelandangan yang cuma minta-minta di jalananlah yang cepat kaya raya.

Dan, saya jadi berpikir, untuk apa saya sekolah capek-capek di SMA saya yang notabene terkenal di Jakarta. Untuk apa saya punya target dapat beasiswa di universitas ngetop luar negeri? Untuk apa pula saya capek-capek belajar kayak gini? Kalo nanti saya malah nggak dapat pekerjaan dengan yang saya harapkan? Nanti saya malah jadi gila.

Saya mau mengharuman nama Indonesia? Halah, susah itu kalau nggak ada dukungannya.

Halah, entahlah. Sejak itu saya jadi bingung, dan rada nggak semangat.
Ditambah masalah yang waktu itu yang benar-benar membuat saya kesal dan remuk.

2 comments:

Komang said...

I know. The system sucks.
Udah pernah nonton Three Idiots belum fan? :P

Abre Kadabre said...

Ahahahahah sama kayak gue, Jan.
Emang bener tuh. Kalo mau kayak Jonathan, belajarnya musti nguli.
Gue aja pernah dikasih tau Pak Yo, ada anak Papua yang dulunya gak bisa apa-apa(bener-bener 0 sama sekali), tau-tau bisa ngalahin Juara Dunia Olimpiade Matematika(yang SMP kalo gak salah) yang dari Indonesia juga. swt -,-