Apakek

Sunday, August 15, 2010

Luruskan dan Rapatkan Safnya

"Luruskan dan rapatkan safnya, karena sesungguhnya kerapatan dan kelurusan saf adalah syarat sempurnanya shalat."

Kalimat di atas adalah kalimat yang sering sekali saya dengar, hampir setiap akan shalat berjamaah, kalimat sakti itu dikeluarkan. Bahkan sampai saat ini saya tidak tahu kenapa saf harus lurus dan rapat. Tapi, entahlah, telah terbentuk suatu mindset di kepala saya, bahwa setiap menjalankan shalat berjamaah, saf harus lurus dan rapat.

*****

Dulu, waktu masih kecil saya diperkenalkan shalat berjamaah di masjid. Saya pikir, satu buah sajadah itu untuk satu orang. Tapi saya yang masih kecil heran, kenapa orang mendempet-dempet sampai saya terasa sesak? Bukankah satu sajadah hanya untuk satu orang?

Lalu saya mendengar perintah untuk merapatkan saf. Kemudian saya berpikir, berarti kalau safnya tidak lurus ataupun rapat, maka shalat tidak sempurna.

Saya juga baru menyadari, bahwa yang dimaksud lurus bukanlah lurus barisan ke depan, melainkan lurus ke samping, karena saf itu bentuk barisannya ke samping, horizontal. Bukan ke depan.

Sekitar 10 tahun saya hidup di lingkungan yang safnya selalu rapat. Sampai-sampai kalau shalat berjamaah safnya nggak rapat, saya jadi risih juga. Mungkin karena pengaruh keluarga yang selalu mewajibkan mengerjakan segala hal dengan rapi. Tapi sampai saat ini saya tidak tahu kenapa saf harus rapat --dari segi agama. Masih suatu hal yang absurd.

*****

Hingga saya pindah ke sini dua tahun yang lalu, sekitar 4 km jauhnya dari tempat tinggal saya yang dulu.

Di perkampungan yang setiap hari, ibu-ibunya melakukan pengajian. Setiap waktu shalat Jum'at, jamaahnya selalu memakai baju koko dan sarung yang di atas mata kaki. Setiap sore melakukan marawis.

Tapi kalau shalat tidak pernah merapatkan safnya.



*****

Dulu hari pertama tinggal di sini. Adzan Dzuhur, dan saya pergi ke masjid. Kumandang adzannya tidak ada yang bagus. Semuanya terburu-buru (atau tidak bisa adzan?).

Setelah berwudhu, lalu shalat sunnah, dan duduk-duduk. Kemudian iqamat. Segera saya maju ke saf paling depan, karena paling depan kosong. Saya heran, kenapa tidak ada yang maju ke depan. Ternyata tradisi di sini, saf paling depan hanyalah untuk -semacam- pemuka agama. Sontak saya heran, karena setahu saya, semua jamaah berhak atas saf paling depan.

Keheranan saya tidak sampai di situ saja. Banyak saf yang renggang. Renggang sekali. Satu sajadah satu orang. Karena saya cukup risih dengan kondisi seperti itu, saya rapatkan diri saya ke kiri, dan berharap ada yang mengisi bagian kosong di sebelah kanan saya. Sebenarnya saya juga berharap kanan kiri saya melakukan hal serupa. Namun tidak ada yang melakukannya.

Ada apa ini? Saya pikir suku yang setiap hari pengajian dan melakukan kegiatan Islami seperti itu seharusnya sadar dong akan makna rapatnya saf? Namun ternyata tidak!! Oke, bukan berarti saya lebih pintar dari mereka. Saya memang bukan berasal dari keluarga yang agamanya kuat. Sangat lemah malahan. Namun, kalau masalah saf aja nggak rapat, saya jadi gak yakin kalau pengajian yang setiap hari mereka lakukan dan mengorbankan warga sekitar karena suaranya yang cempreng membuat sakit gigi itu berkah dan diridhoi Tuhan.

Kesal.

Namun kekesalan saya tidak berhenti di situ. Ternyata di belakang, ada yang safnya benar-benar renggang, tidak mau bergabung. Jadi ibaratnya, ada barisan di depan, dia malah menyebar gak keruan di belakang masjid. Kan bikin nggak rapi!!

*****

Sorenya, waktu maghrib, saya ajak adik saya ke masjid. Kejadian serupa terulang. Makin kesal, sejak saat itu hingga kini, saya tidak pernah shalat berjamaah di masjid di lingkungan rumah lagi hingga kini. Hanya karena masalah saf.

Bukan tanpa alasan, mereka itu hatinya keras, tidak mau diberi tahu. Merasa bahwa mereka itu sudah sangat pintar dan tidak perlu dikoreksi. Malah orang lain yang harus dikoreksi.

Okelah saya pendatang, dan bukan siapa-siapa. Tapi jangan tidak mempedulikan nasihat kami juga. Bukankah jangan melihat dari mulut siapa omongan itu berasal, tapi apa isi omongan itu? Jangan-jangan, kalau orang yang mereka anggap petinggi, omongannya nyeleneh, mereka lakukan lagi. Fail.


*****

Hingga saat tarawih, karena saya trauma, tidak shalat di situ. Di masjid komplek sebelah. Kejadian serupa terulang. Herannya, yang tidak pernah merapatkan safnya itu ya orang suku x itu juga!! Orang kompleknya tidak.

Saya benar-benar berpikir, kalau selama ini pengajian yang mereka lakukan itu mubazir. Tak ada manfaatnya.

Buktinya, setiap sore mereka hanya nongkrong, jajan makanan gope'an, memarahi dan memukuli anak-anaknya yang nakal (seharusnya diberi pengertian), dan membicarakan keburukan saudaranya. Ghibah.


Keluarga saya sejak awal sudah berniat mengubah pola pikir mereka. Dari orang yang pemalas, menjadi rajin. Sudah banyak sekali cara dilakukan. Tapi makin ke sini, kami makin sadar bahwa itu adalah hal
mustahil. Tidak mungkin. Yang ada, kami malah diomong buruk sama mereka. Tak tahu diuntung. Tinggal menunggu kehancuran saja kalau begitu.


Sampai-sampai hal Islami yang mereka lakukan menjadi tidak manfaat, karena hatinya sudah keras. Mereka ibadah bukan karena ilmu. Entahlah karena apa.


*****

Walaupun saya tidak tahu apa sebenarnya keutamaan merapatkan shaf, tapi saya yakin itu penting.
Dan suku x itu tidak pernah mau mengakui bahwa mereka salah. Sudah bodoh, keras pula.
Diberi pengertian untuk mengisi dan merapatkan saf, hanya diam, dan manggut-manggut.
Memang saya pendatang, tapi jangan berlaku seperti itu juga!
Dan mereka tidak melakukan hal konkretnya: mengisi saf.
Sampai kapan saya harus kesal seperti ini?

Dan kata-kata ajaib "Luruskan dan rapatkan safnya, karena sesungguhnya kerapatan dan kelurusan saf adalah syarat sempurnanya shalat," hanyalah angin lalu, hanya formalitas. Khususnya di sini.

1 comment:

Anonymous said...

lol, suku mana?
E-mail gw